Sabtu, 14 November 2015

Turunnya Angka Kelahiran di Negara Maju



Turunnya Angka Kelahiran di Negara Maju

Jumlah penduduk yang besar dapat dilihat sebagai potensi penyedia tenaga kerja dan pangsa pasar prospektif yang dapat dijadikan penopang pertumbuhan ekonomi sebuah negara.

Berbagai literatur ekonomi dan teori pertumbuhan menunjukkan, pertumbuhan penduduk merupakan faktor penting pendorong pertumbuhan ekonomi Negara-negara maju, seperti Jepang, Perancis, Jerman, dan Inggris berusaha meningkatkan pertumbuhan penduduk agar ekonomi tumbuh berkelanjutan dengan memberi berbagai insentif agar orang mau menikah dan memproduksi banyak anak.

Kondisi yang berbeda terjadi di negara-negara berkembang di mana pemerintah berusaha keras menurunkan angka kelahiran. Penduduk besar bukan berkah bagi pembangunan, tetapi beban, karena pemerintah harus menyediakan lapangan pekerjaan, kesehatan, pendidikan, dan layanan publik lain. Indonesia sebagai negara penyumbang ke-4 populasi dunia berusaha untuk menekan laju pertumbuhan penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB). Upaya itu membuahkan penurunan angka kelahiran dari 5,6 tahun 1970-an menjadi 2,4 tahun 2000

Strategi Menurunkan Angka Kelahiran

Angka kelahiran 2,4 merupakan angka yang masih terlalu tinggi sehingga perlu ada upaya untuk menurunkannya. Apakah program KB bisa diharapkan untuk menurunkan angka kelahiran? Jawabannya, ya. Namun, pendekatan program KB harus diubah mengikuti perkembangan zaman dan perubahan sosial ekonomi masyarakat.

Kebijakan pengendalian penduduk/Keluarga Berencana harus disesuaikan dengan perkembangan zaman dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Ke depan, kebijakan Keluarga Berencana diarahkan ke bagian hulu, yaitu menyelesaikan faktor penyebab tingginya angka kelahiran. Jika faktor-faktor tersebut bisa diselesaikan, diyakini masyarakat akan menurunkan jumlah anak dalam keluarga.

Frank Lorimer dalam buku culture and fertility. Asumsinya terdapat hubungan antara system kekerabatan dan fertilitas. System kekerabatan lineal memberi dorongan terhadap fertilitas yang tinggi merupakan kesimpulan  dari tulisannya.
Proses perubahan angka kelahiran dan angka kematian di dalam demografi diterangkan dengan teori transisi demografi. Tiga tahap transisi demografi yaitu pratransisi, transisi dan pasca transisi.
·         Pada fase awal, angka kematian menurun tetapi angka kelahiran tetap tinggi dengan perbaikan kesehatan   aaada kemungkinan angka kelahiran mengalami kenaikan
·         Pada masa transisi tengah, baik angka kematian maupun angka kelahiran menurun, namunangka kematian menurun lebih cepat. Dengan demikian penduduk bertambah dengan pesat
·         Pada masa transisi akhir, angka kematian rendah atau menurun sedikit sedangkan angka kelahiran berkisar antara sedang dan rendah. Pada fase ini pengetahuan dan praktek keluarga berencana sudah meluas.

Di negara barat, proses penurunan angka kelahiran melalui praktek keluarga berencana tidak dikenal sama sekali sebagaimana di negara berkembang yang dijadikan program pemerintah. Di Barat yang justru menyuarakan pentingnya penurunan jumlah penduduk untuk meningkatakan kualitas hidup dan mencegah kemiskinan adalah pejuang keluarga berencana dan bukan pemerintah. Adalah; Francis place (1771-1854), Edwarf trueiove (1878-79), Dr. Knolton, Robert Dale Owen, William robinson dan Mrgaret sanger; mereka adalah para pejuang keluarga berencana di barat. Majalah Malthusian memberitakan bahwa kontrasepsi adalah obat penting untuk mencegah kemiskinan akibat jumlah anak dan penduduk terlalu banyak.

Penurunan angka kelahiran pada berbagai masyarakat berkaitan dengan peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Padahal negara-negara industry pada umumnya tidak mempunyai program resmi keluarga berencana untuk penurunan angka kelahiran. Penurunan angka kelahiran dengan alat kontrasepsi dibarengi motivasi mempunyai anak sedikit.
Sementara itu, negara-negara berkembang mempunyai program keluarga berencana. Pelaksanaan program KB di berbagai negara berkembang didasarkan pada perhitungan ekonomi. Program KB  menggunakan isu /topic tertentu. Lambing-lambang dan kampannye program KB pada umumnya ditujukan untuk mengembangkan norma-norma keluarga kecil dan memperlemah preferensi terhadap anak laki-laki. Topic preferensi jenis kelamin anak dibicarakan dalam berbagai studi penelitian ilmuwan social di berbagai Negara.

Freedman dan Coombs menyimpulkan bahwa dalam hal preferensi terhadap anak laki-laki terdapat perbedaan antara Negara industry dan Negara berkembang. Sejalan dengan toppik preferensi anak banyak juga penelitian dilakukan tentang nilai anak dalam keluarga. Ada dua macam beban ekonomi anak; yakni beban financial dan biaya alternative atau opportunity cost. Beban financial merupakan biaya pemeliharaan langsung, seperti makan, pakaian, rumah, pendidikan dan perawatan kesehatan. Biaya alternative merupakan biaya yang dikeluarkan atau penghasilan yang hilang karena mengasuh anak.

Dampak global program keluarga berencana pada Negara berkembang adalah penurunan fertilitas. Ada program KB yang didukung kekuatan politik seperti Indonesia, RRC, Bangladesh, dan Kenya, dan ada yang sukses tanpa dukungan politis seperti Thailand, korea, Taiwan costa rica dan Colombia.
Selain itu, perlu ada program tambahan sebagai pelengkap program KB.

Strategi untuk menekan laju angka kelahiran  :

Menurunkan angka kematian bayi
Kedua kebijakan itu terlihat tidak saling berhubungan, tetapi mari ditelaah secara saksama. Berdasar riset yang penulis lakukan terkait permintaan anak di Asia Tenggara dan Asia Selatan, tingginya angka kematian bayi berkorelasi positif dengan tingginya angka kelahiran di mana setiap kenaikan satu kematian bayi per 1.000 kelahiran akan menaikkan angka kelahiran sebesar 0,0183. Korelasi ini menunjukkan, orangtua cenderung memproduksi banyak anak sebagai bagian strategi menghindari risiko (risk averse) kehilangan anak pada waktu kecil. Mereka berharap, dengan memiliki banyak anak, akan memperbesar probabilitas memiliki anak yang bertahan hidup sampai dewasa
Untuk menekan angka kematian bayi, tak ada cara lain selain meningkatkan program pelayanan kesehatan ibu dan bayi, meningkatkan asupan gizi ibu dan anak, serta memperluas akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan. Diyakini, meski secara rata-rata pendidikan ibu-ibu di Indonesia masih rendah, perilaku mereka rasional seperti layaknya agen ekonomi. Kebijakan menurunkan angka kematian bayi sama dengan menurunnya risiko investasi anak sehingga ibu-ibu akan secara sadar menurunkan produksi anak.

Memperluas kesempatan kaum wanita untuk bekerja di sektor formal
Seorang wanita pekerja formal akan kehilangan berbagai kesempatan, seperti promosi, bahkan penurunan produktivitas, jika mereka harus berkali-kali hamil dan melahirkan. Perluasan kesempatan kerja di sektor formal akan meningkatkan biaya kesempatan (oppotunity cost) bagi wanita sehingga mereka secara langsung akan menurunkan produksi anak

Peningkatan dan perluasan kesempatan pendidikan bagi kaum perempuan.
Meningkatnya pendidikan berarti memperpendek usia produktif wanita untuk memproduksi anak, meningkatkan rasionalitas kaum perempuan, dan memperluas kesempatan kaum perempuan untuk bekerja di sektor formal. Peningkatan 1 persen female school enrollement ratio akan menurunkan angka kelahiran 0,0170

Jaminan sosial hari tua
Salah satu alasan orangtua memiliki anak adalah agar di hari tua ada yang merawat dan membantu secara finansial. Karena itu, para orangtua akan memproduksi banyak anak dan berharap salah satu anaknya sukses secara sosial ekonomi sehingga bisa merawat dan membantu di hari tua. Jika fungsi tersebut bisa diambil alih negara dengan program jaminan sosial hari tua, akan menurunkan kekhawatiran dan memberi kepastian kepada para orangtua terkait kehidupan pada masa tua. Dengan demikian, mereka dengan sukarela menurunkan jumlah produksi anak.



Contoh Negara Maju Dengan Tingkat Kelahiran Rendah
JERMAN
Sejak reunifikasi, Jerman merupakan negara yang paling padat penduduknya di Uni Eropa. Sekitar 82 juta orang tinggal di wilayah Jerman, hampir seperlima di antaranya di bagian timur, di wilayah bekas RDJ. Ada tiga kecenderungan yang menandai perkembangan demografis di Jerman: angka kelahiran yang rendah, usia harapan hidup yang terus meningkat, serta penuaan masyarakat.

Sejak tiga dasawarsa jumlah anak yang lahir di Jerman tetap kecil: Sejak tahun 1975 statistik menunjukkan jumlah kelahiran per perempuan sebesar 1,3 anak, dengan gerakan naik-turun angka itu yang tidak berarti. Kesimpulannya, sejak 30 tahun besar generasi anak lebih kecil sepertiga dibandingkan dengan besar generasi orang-tua. Berkat pendatang yang pindah dalam jumlah besar dari negara lain ke Jerman bagian barat, penurunan jumlah penduduk yang sebanding dengan angka kelahiran dapat dicegah. Pada waktu yang sama usia harapan hidup meningkat terus. Dewasa ini angkanya 77 tahun untuk laki-laki dan 82 tahun untuk perempuan.

Meningkatnya usia harapan hidup, lebih-lebih lagi angka kelahiran yang rendah menyebabkan kecenderungan ketiga: Bagian orang muda dalam jumlah penduduk seluruhnya menurun, sedangkan bagian orang lanjut usia meningkat. Pada awal tahun 90-an, untuk setiap orang berusia 60 tahun ke atas terdapat hampir tiga orang dalam usia kerja aktif. Pada awal abad ke-21, rasio itu hanya 1 banding 2,2. Menurut prakiraan, dalam dasawarsa yang akan datang rasio itu akan turun lagi sampai di bawah 1 banding 2. Penuaan masyarakat termasuk tantangan terbesar di bidang politik sosial dan keluarga. Oleh sebab itu, asuransi purnakarya pun dirombak: Pola pembiayaan tradisional yang dikenal sebagai “perjanjian antargenerasi” makin lama makin tidak terjangkau lagi dan dilengkapi dengan dana persiapan hari tua yang dibiayai secara perorangan. Di samping itu digiatkan pelaksanaan tindakan di bidang politik keluarga yang dapat memacu kenaikan angka kelahiran.

JEPANG
Singapura dan Jepang dihadapkan pada persoalan kependudukan yang serius. Angka kelahiran pada kedua negara tersebut tidak tumbuh bahkan terus menurut.
Teo Chee Hean, Deputi Perdana Menteri Singapura, mengakui bahwa penyusutan jumlah warga negara berarti pula penyusutan tenaga kerja lokal. Saat ini pemerintah Singapura terus mendorong lebih banyak warganya untuk memiliki keturunan.
Pekerja imigran sangat dibutuhkan untuk mengisi kekurangan tenaga kerja guna menjaga perputaran ekonomi Singapura. Kedepan, Teo Chee menyebutkan, beban generasi mendatang akan kian besar, akibat dari menurunnya angka kelahiran.  Sekarang yang terjadi, negara ini terus membuka diri untuk para pendatang dari berbagai negara untuk bekerja dan tinggal.
Banyak pasangan suami istri yang tidak mau mempunyai anak. Hal ini ditunjukkan dengan angka kelahiran di tahun 2010 yang amat rendah di Singapura. Angka fertilitas total (TFR- total fertility rate/ gambaran mengenai rata-rata jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan dari usia 15 sampai 49 tahun) yang sudah rendah terus menurun, mencapai 1,16 di tahun 2010, dari tahun 2009 sebesar 1,22.    
Angka ini jauh di bawah replacement level fertility (tingkat penggantian manusia/ kelahiran), yaitu dengan TFR sekitar 2,2. Dengan replacement level, bila tidak ada migrasi neto yang positif, jumlah penduduk Singapura akan berhenti bertumbuh setelah berada di era replacement level sekitar 40-50 tahun. Sedangkan Singapura telah mencapai replacement level pada tahun 1975, setelah 10 tahun melakukan pengendalian kelahiran yang ketat. Sejak saat itu, angka kelahiran terus menurun, dan selalu berada di bawah replacement level.
Kondisi yang mendukung penurunan angka kelahiran tersebut, diantaranya, banyak pasangan suami-istri yang tidak ingin mempunyai anak. Pasalnya, biaya untuk membesarkan anak itu mahal sekali. Biaya saat hamil dan  melahirkan, merawat sampai membesarkan anak. Sampai kapan Singapura akan terus mengandalkan pada migrasi internasional untuk mengimbangi kekurangan tenaga kerjanya? Entahlah!
Sementara itu di Jepang, menurut US Census Bureau July, 2003,  Persentase jumlah penduduk Jepang jika dikategorikan berdasarkan usia, maka bentuknya adalah piramida terbalik. Artinya, jumlah lansia berada di tingkatan paling atas, berbanding terbalik dengan jumlah bayi/ kelahiran (sangat kecil).  Pada 2011, tingkat kelahiran Jepang hanya 1,39, jauh dari ambang batas aman dari penciutan populasi, yaitu 2,07.
Fonemena rendahnya jumlah bayi/kelahiran di jepang dinamakan Shoshika . Penyebabnya, rendahnya minat orang Jepang untuk menikah dan memiliki anak. Faktor globalisasi ekonomi juga sangat erat kaitannya. Hal lainnya, banyak perusahaan menekan jumlah pekerja regular dan menggantinya dengan pekerja non-reguler yang dapat diberhentikan sewaktu-waktu, sehingga para pekerja kontrak ini tidak memiliki pendapatan yang cukup dan terpaksa menunda kesempatan pernikahan karena alasan finansial.
Di masa mendatang, hal yang dikhawatirkan adalah komposisi penduduk yang tidak seimbang menimbulkan permasalahan lain yang tidak mudah dihadapi Jepang. Yakni masalah biaya kesehatan dan dana pensiun yang dapat berimbas bagi perekonomian Jepang. Kabarnya Pemerintah hingga saat ini sedang kesusahan mengatasi hal tersebut. Tidak adanya regenerasi menimbulkan berkurangnya para pemuda, menyusutnya jumlah usia produktif yang mampu menyumbang pajak bagi negara.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar